Penulisan & transkripsi | Periklanan digital | Kursus digital marketing 082261742202

Ledakan Tambora dan Merapi, Kebangkitan Diponegoro dari Perspektif Sejarawan Peter Carey

Kata kunci: Ledakan Merapi, Ledakan Tambora, Kebangkitan Diponegoro, Podcast Endgame, Gita Wirjawan, Peter Carey, Sejarawan, Dampak Bencana Alam, Spiritualisme, Ketidakberesan, Ratu Kidul, Sunan Kalijaga, Perjuangan Melawan Penjajah, Kekuatan Spiritual, Perubahan Sosial, Alam dan Tuhan, Sejarah Indonesia, Identitas Kolektif, Masyarakat Jawa, Kekuatan Alam

10/28/20244 min baca

brown and black mountain with white clouds
brown and black mountain with white clouds

Podcast "Endgame" edisi 29/8/2024, Gita Wirjawan (Host) mengundang sejarawan (Indonesianis) Peter Carey. Salah satu bahasan yang menarik adalah dampak besar dari letusan Gunung Tambora (1815) dan Merapi (1822) terhadap masyarakat Jawa di awal abad ke-19. Percakapan ini menyoroti bagaimana bencana alam tidak hanya menjadi peristiwa alam, tetapi juga mengubah cara pandang dan pemikiran masyarakat Jawa pada masa itu, termasuk Pangeran Diponegoro.

Carey membuka wawasan dengan menyebut bahwa letusan dahsyat yang terjadi pada era itu membawa dampak signifikan tidak hanya pada kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam membentuk persepsi orang Jawa terhadap dunia mereka yang dianggap “berubah cepat dan dramatis.”

Letusan Tambora, misalnya, tidak hanya mengakibatkan kerusakan fisik tetapi juga mempengaruhi iklim global. Dampaknya, menurut Carey, terasa hingga ke Eropa di mana cuaca buruk di Waterloo mempengaruhi pergerakan pasukan Napoleon. Ia menyebut ini sebagai efek kupu-kupu, yakni sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana peristiwa kecil dapat memicu rangkaian peristiwa besar di tempat lain.

Carey juga mencatat bagaimana Pangeran Diponegoro, sebagai seorang tokoh spiritual, memandang letusan gunung sebagai lebih dari sekadar fenomena alam; bagi Diponegoro, letusan itu merupakan pertanda ketidakseimbangan dan kemarahan ilahi. Dalam catatannya, Diponegoro menyaksikan langit memerah dan bumi berguncang saat letusan Merapi terjadi pada akhir Desember 1822.

Bencana Alam Penanda Tuhan Murka

Bagi Diponegoro, fenomena ini menegaskan keyakinannya bahwa “alam dan Tuhan” menunjukkan ketidakberesan besar yang sedang berlangsung di tanah Jawa. Carey menekankan bahwa kejadian tersebut memperkuat misi pribadi Diponegoro untuk membela rakyat dan melawan ketidakadilan kolonial.

Carey melanjutkan dengan mengaitkan situasi tersebut dengan latar belakang keluarga Jawa yang erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepercayaan mistis. Ia bercerita bagaimana keluarga besar Diponegoro, terutama nenek buyutnya dari Kesultanan Bima, juga terdampak oleh letusan gunung Tambora. Hancurnya Kesultanan Bima akibat letusan tersebut mengisyaratkan bagi Diponegoro bahwa perubahan besar sedang terjadi di sekitar mereka, dan ia merasakan tugas untuk menjadi bagian dari perubahan tersebut.

Carey menjelaskan bahwa kejadian ini, dalam pandangan orang Jawa, melibatkan lebih dari sekadar kehancuran fisik; ini adalah pertanda kosmis tentang ketidakberesan dunia yang lebih besar.

Gita Wirjawan kemudian menyoroti bagaimana masyarakat Jawa, yang pada masa itu lebih sering berpegang pada ketenangan dan kestabilan kosmik, mulai menyadari bahwa dunia dapat berubah drastis dalam hitungan hari. Letusan gunung berapi yang masif menunjukkan bahwa bahkan hal-hal yang dianggap abadi bisa runtuh seketika.

Carey menggambarkan bagaimana tatanan lama, yang awalnya terlihat kekal, mulai runtuh, memaksa masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan besar yang terjadi di sekeliling mereka.

Percakapan ini memberi pandangan yang mendalam mengenai bagaimana bencana alam tidak hanya memengaruhi kondisi fisik suatu wilayah tetapi juga meresap ke dalam alam pikiran, membentuk pemikiran, semangat perjuangan, dan identitas kolektif suatu bangsa. Bagi kita para pendengar podcast, kisah ini adalah pengingat bahwa sejarah tidak hanya terjadi di masa lalu tetapi juga terus membentuk cara kita memandang dunia hingga saat ini.

Spiritualitas Diponegoro, Ratu Kidul dan Sunan Kalijaga

Peter Carey menjelaskan bahwa Diponegoro, menjelang usia dewasa, mengalami perjalanan spiritual yang mendalam. Dengan tekad kuat, ia melakukan ziarah ke Laut Kidul, menempuh jarak sekitar 70 kilometer melalui berbagai lokasi yang sakral. Dalam perjalanan tersebut, ia mengunjungi tempat-tempat seperti Gua Sigololo dan Gua Langse, di mana ia bermeditasi dan mengalami penampakan dari Ratu Kidul.

Di Parangkusumo, Diponegoro menerima bisikan dari Sunan Kalijaga yang memberitahukan bahwa tanah Jawa akan mulai rusak dalam tiga tahun. Pesan itu disampaikan pada Januari 1808, menjelang kedatangan Din. Dalam pesan tersebut, Ratu Kidul melarang Diponegoro menerima gelar dari Belanda, menegaskan bahwa akan menjadi dosa besar jika ia menerima tawaran tersebut.

Dalam konteks tersebut, "Din" merujuk pada Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang merupakan bagian dari pemerintahan Inggris di Jawa. Raffles mengambil alih kekuasaan di Jawa dari Belanda pada tahun 1811, dan masa pemerintahannya dikenal sebagai periode penting dalam sejarah Indonesia, termasuk dalam konteks hubungan antara penjajah dan kerajaan lokal seperti Kesultanan Yogyakarta, di mana Diponegoro merupakan salah satu tokoh penting.

Jadi, pada Januari 1808, ketika Diponegoro menerima pesan dari Ratu Kidul melalui Sunan Kalijaga, ia diperingatkan bahwa situasi di Jawa akan mulai mengalami perubahan signifikan seiring kedatangan kekuatan baru, yaitu Inggris, yang akan mempengaruhi tatanan sosial dan politik di wilayah tersebut.

Peter Carey menyoroti betapa Diponegoro bukan hanya seorang pemimpin militer, tetapi juga seorang yang berwibawa dan penuh tanggung jawab. Dalam konteks perang yang akan datang, Diponegoro memiliki visi yang jauh ke depan, meskipun ia masih muda, di mana ia merasa tidak cocok untuk duduk di tahta Jogja yang lebih sekadar simbol kekuasaan.

“Dia merasa kikuk di dalam situasi seperti ini,” ungkap Carey, “sebab itu bukan tempatnya. Tempatnya adalah di alam, di mana ia dapat berhubungan langsung dengan kekuatan spiritual dan alami.” Ini menunjukkan bahwa hubungan Diponegoro dengan alam sangat kuat, dan ia merasa lebih nyaman berada di tengah-tengah kekayaan alam ketimbang di dalam keraton yang terkurung.

Pengaruh Letusan Gunung Berapi

Letusan Gunung Merapi dan Tambora menjadi faktor signifikan dalam mengguncang tatanan sosial dan politik di Jawa. Peter Carey menjelaskan bahwa letusan gunung berapi ini tidak hanya menyebabkan bencana fisik, tetapi juga mempengaruhi pola pikir masyarakat. Terlebih, dampak bencana ini turut membangkitkan semangat perjuangan masyarakat, termasuk Diponegoro, untuk melawan penjajah.

“Dunia memang berubah secara dramatis. Bencana alam seperti ini menjadi sinyal bagi rakyat untuk bangkit melawan penindasan,” ujar Carey. Letusan Merapi yang terjadi di tahun 1822 dan letusan Tambora di tahun 1815 memberikan pengaruh yang mendalam terhadap psikologi masyarakat saat itu, mendorong mereka untuk merespons dengan aksi melawan penjajah yang menguasai tanah mereka.

Diponegoro, dengan pemahaman spiritualnya dan pengalaman dari letusan gunung berapi, berperan sebagai simbol harapan dan perlawanan. Dia menggabungkan kekuatan alam dengan spiritualisme untuk membangkitkan semangat perjuangan, menciptakan narasi baru bagi rakyat Jawa.

Dalam perbincangan ini, Gita Wirjawan dan Peter Carey berhasil menggali lebih dalam tentang bagaimana peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Indonesia saling berhubungan, serta bagaimana Diponegoro muncul sebagai sosok yang penuh karisma dan spiritualitas. Kebangkitan Diponegoro tidak hanya dipicu oleh bencana alam, tetapi juga oleh kesadaran kolektif rakyat yang ingin melawan penjajahan, sebuah perjalanan yang telah menorehkan sejarah Indonesia hingga hari ini.

Melalui kisah ini, kita diingatkan bahwa sejarah tidak hanya sekadar catatan masa lalu, tetapi juga merupakan refleksi dari perjuangan dan harapan masa depan.