Penulisan & transkripsi | Periklanan digital | Kursus digital marketing 082261742202

Panggilan Batin Peter Carey dan Sambutan Gaib Pangeran Diponegoro

Kata kunci: Diponegoro, Peter Carey, sejarah Jawa, Perang Jawa, panggilan batin, kolonialisme, perang Napoleon, Inggris, Prancis, Hindia Belanda, revolusi, ideologi, perlawanan, Lord Minto, Thomas Stamford Raffles, Freemason, Nusantara, abad ke-19, penelitian sejarah, nasionalisme

10/27/20244 min baca

Dalam episode podcast Endgame (29/82024), Gita Wirjawan mewawancarai seorang sejarawan terkemuka yang juga dikenal sebagai Indonesianis, Peter Carey. Ketika ditanya mengenai alasan di balik ketertarikannya untuk mempelajari Pangeran Diponegoro, Carey memulai kisahnya dari awal karier akademiknya yang penuh warna, dipenuhi dengan berbagai tantangan, keberuntungan, hingga momen-momen “ajaib” yang seakan mempertemukannya dengan jiwa perlawanan Diponegoro. Kisah ini bukan sekadar cerita akademis, tetapi perjalanan batin yang mengantarkannya untuk mendalami karakter Pangeran Diponegoro dalam perspektif yang kaya akan budaya dan sejarah.

Perjalanan Peter Carey dalam memahami Diponegoro dimulai ketika ia menempuh pendidikan di Universitas Oxford. Pada ujian lisan, Carey dihadapkan dengan pertanyaan tentang minatnya terhadap sejarah. Awalnya, ia ingin mendalami sejarah lokal Prancis. Namun, rekan akademisnya, Jack Galaher, menyarankan Carey untuk memikirkan topik yang lebih relevan secara global—Pulau Jawa, tempat yang pernah menjadi pusat kolonialisme dan pertemuan berbagai kekuatan besar Eropa pada masa itu.

Usulan itu membawanya pada perjalanan akademis yang baru, bahkan mengharuskannya untuk beralih ke Cornell University untuk meraih beasiswa lanjutan. Di sana, ia bertemu dengan Profesor Ben Anderson, seorang pakar Indonesia yang memperkenalkannya pada arsip sejarah Nusantara. Salah satu temuan menarik dalam penelitian Carey adalah Perang Jawa (1825-1830), di mana ia pertama kali menemukan ilustrasi dan cerita heroik tentang Pangeran Diponegoro, pemimpin kharismatik yang berjuang melawan kekuasaan kolonial Belanda.

Belajar Bahasa dan Budaya: Memahami Indonesia dari Akar Rumput

Untuk memahami kisah Diponegoro dengan lebih mendalam, Carey menyadari bahwa ia tak cukup hanya membaca sumber-sumber kolonial. Cornell, yang tidak secara spesifik mengajarkan sejarah kolonial, menuntutnya untuk mempelajari bahasa Indonesia, Jawa, dan Belanda agar dapat mengakses arsip dan literatur asli. Penguasaan bahasa ini bukanlah hal mudah, tetapi Carey menyadari bahwa ia membutuhkan pemahaman langsung dari perspektif lokal agar dapat menyelami kisah Diponegoro dalam sudut pandang rakyat Nusantara.

Dalam sebuah perjalanan yang unik, Carey memutuskan untuk mengarungi lautan dari Inggris menuju Indonesia dengan kapal Jakarta Lloyd. Pengalaman ini tak hanya memberinya kesempatan untuk menyaksikan beragam budaya Indonesia di atas kapal, tetapi juga memberinya keberuntungan yang seolah terjalin dalam takdir. Carey hampir kehilangan nyawanya di Palembang akibat acute peritonitis, namun ia selamat berkat bantuan seorang teman yang mengevakuasinya ke Singapura menggunakan pesawat militer. Peristiwa ini bagai mengisyaratkan bahwa ia masih memiliki tugas yang belum selesai.

Setelah pulih, Carey melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, kota yang menjadi pusat pengaruh Diponegoro. Dalam perjalanannya, ia tiba di sebuah pendopo tua di Tegalrejo, yang ternyata adalah bekas kediaman Pangeran Diponegoro. Di tempat itulah, Carey merasakan panggilan batin yang mendalam, seakan Diponegoro sendiri menyambutnya untuk lebih memahami perlawanan dan warisan budaya yang ia bawa.

Pengaruh Perang Napoleon terhadap Jawa, Perang Dunia Pertama yang Terlupakan

Carey berpendapat bahwa periode Perang Napoleon (1792-1815) merupakan “Perang Dunia Pertama” versi awal, dengan dampak yang meluas hingga ke koloni-koloni di Asia. Perang tersebut, yang pada awalnya berpusat di Eropa, mempertemukan Inggris, Prancis, dan Belanda dalam sebuah konflik besar yang berdampak pada seluruh dunia, termasuk Indonesia. Inggris yang berusaha mengamankan jalur laut ke India merasa perlu untuk merebut Jawa dari Belanda, yang pada saat itu berada di bawah pengaruh Prancis.

Inggris memimpin ekspedisi militer ke Jawa pada tahun 1811, dipimpin oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India. Penaklukan Jawa bukan sekadar upaya penguasaan wilayah, tetapi juga melibatkan strategi diplomatik yang rumit, termasuk menggunakan jaringan Freemason untuk membangun aliansi dengan elite lokal. Dalam jaringan ini, Thomas Stamford Raffles, seorang administrator Inggris muda yang ambisius, diperkenalkan kepada para tokoh masyarakat setempat. Raffles berusaha memahami budaya Jawa dan memperdalam pengetahuan tentang perlawanan rakyat, sebuah upaya yang akan kelak memengaruhi kisah perjuangan Diponegoro.

Ketika Inggris menguasai Jawa, Diponegoro, seorang bangsawan Jawa dengan pemahaman mendalam tentang agama dan budaya, menyaksikan pergeseran kekuasaan yang besar. Perubahan ini memperkuat keyakinannya untuk berjuang menentang kekuasaan kolonial. Baginya, perlawanan ini bukan sekadar perjuangan militer, tetapi sebuah panggilan moral untuk mempertahankan nilai-nilai dan martabat rakyatnya di tengah benturan kekuatan kolonial yang semakin besar.

Perang Jawa yang berlangsung pada 1825-1830 menjadi simbol perlawanan terhadap tirani dan kolonialisme, serta menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia. Diponegoro tidak hanya berjuang untuk Jawa, tetapi bagi seluruh Nusantara. Baginya, perang ini adalah panggilan untuk mempertahankan martabat dan kebebasan rakyatnya, sebuah semangat yang terus hidup di dalam setiap perjuangan untuk kebebasan dan keadilan.

Perang Diponegoro adalah perlawanan besar Pangeran Diponegoro melawan Belanda, bukan Inggris. Meskipun pada awal abad ke-19, Inggris memang sempat menguasai Jawa (1811-1816) saat kekuatan mereka bersaing dengan Prancis dan Belanda di wilayah kolonial. Namun, setelah Kongres Wina pada 1815 yang mengatur kembali kekuasaan kolonial pasca-Napoleon, Inggris mengembalikan Jawa kepada Belanda. Oleh karena itu, saat Perang Diponegoro terjadi, Jawa sudah berada di bawah kendali penuh pemerintahan kolonial Belanda.

Leluhur Ora Sare

Sebagai benang merah dari kisah ini, hubungan Inggris, Prancis, dan Jawa di abad ke-19 menggambarkan bagaimana konflik global dan kepentingan kolonial membentuk sejarah Nusantara. Perebutan kekuasaan antara Inggris dan Prancis tidak hanya berlangsung di Eropa tetapi juga merambat hingga ke Hindia Timur, termasuk pulau Jawa, yang menjadi titik strategis dalam perebutan kendali atas jalur dagang dan kolonialisme.

Di sinilah Pangeran Diponegoro muncul sebagai sosok sentral yang menentang dominasi kolonial. Perjuangan dan resistensinya mencerminkan perlawanan lokal yang tak lepas dari dinamika global. Dalam bayang-bayang konflik antara dua kekuatan besar dunia, Jawa menjadi panggung bagi perlawanan nasional yang berakar pada semangat mempertahankan tanah air di tengah pergolakan kekuatan asing.

Sebagaimana keyakinan bahwa “leluhur ora sare,” atau leluhur yang tak pernah tidur, perjuangan Diponegoro seakan hidup kembali dalam setiap upaya rakyat Indonesia untuk melawan ketidakadilan. Kisah perjuangan Diponegoro melawan kolonialisme di Jawa menjadi inspirasi yang melampaui batas waktu. Bagi Peter Carey, perjalanan memahami Diponegoro bukan sekadar studi akademik, tetapi sebuah panggilan batin yang mempertemukannya dengan semangat pahlawan Indonesia yang tak lekang oleh waktu. Warisan Diponegoro, sebagai simbol perjuangan yang tak pernah padam, terus menginspirasi hingga kini.