Penulisan & transkripsi | Periklanan digital | Kursus digital marketing 082261742202

Podcast dan Kiamat Literasi di Zaman yang Tak Lagi Suka Membaca

Di zaman yang katanya canggih ini, satu fakta kecil terasa mencolok: orang makin malas membaca. Artikel dianggap terlalu panjang, buku terlalu berat, dan tulisan panjang di media sosial sering kali dikomentari dengan, "TL;DR"

4/16/20253 min baca

opened book
opened book

“Suara mendahului tulisan. Nabi-nabi berbicara sebelum ada kitab. Dan kini, di tengah kiamat literasi, kita kembali ke telinga.”

Di zaman yang katanya canggih ini, satu fakta kecil terasa mencolok: orang makin malas membaca. Artikel dianggap terlalu panjang, buku terlalu berat, dan tulisan panjang di media sosial sering kali dikomentari dengan, "TL;DR"Too Long; Didn't Read, artinya "Terlalu Panjang; Tidak Dibaca."

Namun, anehnya, orang masih mau mendengarkan. Bahkan rela menghabiskan satu jam lebih menyimak dua orang ngobrol dalam podcast. Dan dari situ, kita mungkin bisa melihat kenyataan yang lebih dalam: kita sedang kembali ke akar, ke zaman ketika suara adalah segalanya.

Podcast Bukan Inovasi, Tapi Reinkarnasi

Podcast hari ini dianggap tren baru. Padahal secara bentuk, ia hanyalah pelanjut tradisi lama: tradisi lisan.

Sebelum ada huruf, manusia bercerita lewat suara. Sebelum ada dokumen, ada dongeng. Sebelum ada file PDF, ada petuah yang dituturkan dari mulut ke mulut. Ini bukan kemunduran—ini adalah bukti bahwa di balik semua algoritma dan AI, manusia tetaplah makhluk yang mencintai suara.

Nabi-nabi pun bercerita, bukan menulis. Musa, Isa, Muhammad—mereka dikenal bukan karena tulisan tangan mereka, tapi karena kata-kata yang mereka ucapkan. Para pengikutlah yang kemudian membukukannya. Wahyu pertama bukanlah perintah menulis, tapi "Iqra’", yang justru berarti bacalah sesuatu yang belum tertulis—yang didengar.

Plato belajar dari Socrates bukan lewat buku, tapi lewat dialog. Socrates sendiri tak meninggalkan satu pun karya tulis—karena ia percaya pada kekuatan bicara. Para filsuf awal bukan penulis. Mereka adalah penutur. Mereka hidup di zaman yang percaya bahwa suara mampu membentuk pemikiran, bahkan peradaban.

Kiamat Literasi dan Kebangkitan Suara

Hari ini, kita hidup dalam apa yang bisa disebut sebagai kiamat literasi.

Buku dibaca makin sedikit. E-book diunduh tapi tak disentuh. Bahkan jurnalisme pun terpaksa tunduk pada clickbait dan paragraf singkat. Ini bukan hanya karena orang sibuk, tapi karena mereka tak lagi punya stamina intelektual untuk menghadapi teks panjang.

Namun ironisnya, dalam kehancuran budaya baca itu, suara justru bangkit.

Podcast menjadi semacam perahu Nuh bagi pikiran-pikiran yang tak lagi bisa berenang di samudra teks. Di tengah banjir konten visual dan tulisan yang dibaca setengah hati, podcast menawarkan ruang untuk mendengarkan, merenung, dan—barangkali—menyerap.

Dan ternyata, banyak yang kembali menemukan makna lewat suara. Bukan karena mereka bodoh. Tapi karena mereka lelah. Maksudnya adalah bahwa banyak orang saat ini lebih memilih mendengarkan suara—seperti dalam podcast—daripada membaca teks panjang, bukan karena mereka tidak cerdas atau malas, tetapi karena mereka merasa lelah dengan informasi yang harus mereka serap secara visual dan tekstual.

Di era digital yang serba cepat dan penuh distraksi ini, banyak orang merasa kewalahan dengan jumlah informasi yang terus datang dalam bentuk tulisan yang panjang, artikel, berita, atau bahkan media sosial. Mereka merasa lebih mudah dan lebih nyaman untuk menyerap informasi dalam bentuk suara, yang memungkinkan mereka untuk multitasking (misalnya, mendengarkan sambil beraktivitas), tanpa merasa tertekan oleh panjangnya teks yang harus dibaca.

Suara Sebagai Resistensi

Dalam dunia yang serba visual, suara bisa jadi bentuk perlawanan. Kita hidup dalam era di mana semua harus “dipamerkan.” Tapi mendengarkan? Itu kegiatan sunyi. Intim. Personal.

Podcast memberikan ruang kontemplatif yang sulit dicapai lewat media lain. Tak ada distraksi warna. Tak ada wajah untuk dihakimi. Hanya suara—dan mungkin sedikit musik latar. Dan di sana, makna bisa lahir tanpa gangguan.

Podcast adalah tempat di mana orang bisa menjadi pembicara, menyampaikan petuah, keresahan, bahkan kebenaran yang tak muat di layar smartphone.

Kita Sedang Kembali ke Telinga

Dulu kita duduk mengelilingi api unggun, mendengarkan dongeng. Kini kita duduk di kendaraan, menyetel earphone, mendengarkan obrolan dua orang asing.

Yang berubah hanyalah teknologinya. Inti manusianya tetap sama.

Podcast bukanlah teknologi masa depan. Ia adalah nostalgia masa lalu yang dipoles dengan mikrofon dan Spotify. Ia adalah bukti bahwa meskipun dunia berubah, kita tetaplah makhluk yang ingin mendengar, ingin diceritakan, ingin merasa ditemani.

Dan di tengah dunia yang makin bising, kadang suara yang pelan justru lebih menggetarkan.