Penulisan & transkripsi | Periklanan digital | Kursus digital marketing 082261742202

Sugondo dan Yamin: Kisah di Balik Lahirnya Sumpah Pemuda

Kata kunci: Sugondo Djojopuspito, Mohammad Yamin, Sumpah Pemuda, Batavia, persatuan, tanah air, Indonesia, bahasa Melayu, lingua franca, budaya, jati diri, keberagaman, ikrar, sumpah, generasi, pemuda, Sabang sampai Merauke, semangat, sejarah, fiksi, peristiwa sejarah.

10/24/20242 min baca

Sore itu, ketika bayangan gedung-gedung mulai memanjang di Batavia, Sugondo Djojopuspito berdiri di depan ruangan. Suaranya tegas, menggema di aula tempat para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul. Di sebelahnya, seorang pemuda dari Minangkabau, Mohammad Yamin, berdiri memperhatikan setiap kata yang diucapkan.

“Kita tak hanya berjuang untuk tanah kelahiran masing-masing,” Sugondo memulai, “Tapi untuk satu tanah air—tanah air Indonesia.”

Yamin mengangguk, lalu mengangkat tangannya, meminta bicara. "Tapi, Sugondo, bagaimana kita bisa menyatukan pemuda dari Sabang sampai Merauke? Lidah mereka berbeda, kebiasaan mereka tak sama. Apakah mungkin?" Yamin bertanya dengan mata tajam, penuh kekhawatiran. Di belakangnya, beberapa pemuda Jawa dan Sulawesi mulai bergumam.

Sugondo menarik napas, wajahnya serius. "Bahasa adalah kuncinya. Bahasa Melayu, yang telah lama menjadi lingua franca, bisa menjadi jembatan kita."

“Lalu, bagaimana dengan budaya kami?” tanya seorang pemuda dari Bali, wajahnya sedikit khawatir. “Apakah kita harus meninggalkan warisan nenek moyang demi persatuan ini?”

Sugondo tersenyum tipis. "Tidak, saudara. Kita tak perlu meninggalkan budaya. Kita tak akan kehilangan jati diri. Justru dengan persatuan, budaya kita akan makin kuat karena kita berdiri bersama. Ingat, bukan keberagaman yang memisahkan kita, tapi kekuatan bersama yang mempersatukan."

Yamin maju ke depan. "Bahasa Indonesia," katanya penuh keyakinan. "Bukan hanya jembatan, tapi simbol bahwa kita—di mana pun kita berasal—adalah satu. Kita berbangsa satu."

Semua mata tertuju pada Sugondo, menunggu responsnya. Dengan tegas, Sugondo menatap seluruh peserta kongres. "Jika kita tidak melakukannya sekarang, kapan lagi? Ini adalah momen kita. Kita mengikrarkan sumpah, bukan untuk generasi kita saja, tapi untuk anak cucu kita."

Tiba-tiba, seorang pemuda dari Sulawesi yang selama ini diam, berdiri. "Saya setuju," katanya dengan suara serak namun penuh keyakinan. "Persatuan ini harus dimulai dari kita, dari sumpah kita hari ini."

Rapat semakin bergemuruh dengan semangat. Sugondo kemudian mengangkat tangan, meminta perhatian. "Jika kita semua sepakat," ujarnya, "mari kita ikrarkan bersama. Ikrar yang akan dikenang selamanya."

Sugondo mulai membacakan sumpah itu. Suara para pemuda bergabung, mengisi aula dengan gemuruh tekad yang tak terbendung.

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.”

Wajah-wajah di sekelilingku mulai berkilau dengan air mata haru. Sugondo melanjutkan, kali ini dengan lebih lantang.

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”

Seluruh ruangan kini seperti satu suara. Setiap kata yang diucapkan tak hanya sekadar sumpah, tapi janji suci.

“Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Ketika sumpah terakhir terucap, ruangan dipenuhi keheningan yang luar biasa. Aku melihat Sugondo menundukkan kepala, lalu menatap kami dengan mata berkilau. "Kita telah memulai sejarah," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.

Mohammad Yamin menepuk bahu Sugondo, senyum lelah namun puas terlukis di wajahnya. "Kita berhasil," katanya perlahan. "Hari ini, Indonesia lahir."

Disclaimer: Cerita ini merupakan karya fiksi yang terinspirasi oleh peristiwa sejarah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Meskipun beberapa tokoh dan peristiwa yang disebutkan benar adanya, sudut pandang, dialog, serta beberapa detail disajikan secara naratif dan imajinatif untuk memperkaya pengalaman membaca. Karya ini tidak dimaksudkan untuk menjadi catatan sejarah yang akurat secara faktual, melainkan sebuah interpretasi sastra berdasarkan semangat persatuan yang tumbuh dalam peristiwa bersejarah tersebut.